Redaksi Jadetabek, Bekasi - BUNG Karno sang pelopor dan tokoh utama pendiri negara bangsa (nation-state) Indonesia memang sangat gandrung pada persatuan Indonesia dalam kebhinnekaannya (nasionalisme heterogen). Baginya, kebhinnekaan adalah das sein suatu kebenaran realitas, sedangkan ‘tunggal ika’ adalah das sollen yakni suatu kebenaran ideal.
Bagi Bung Karno hanya dengan persatuan (gotong- royong) yang kokoh Indonesia dapat mengusir penjajah dan merdeka. Obsesi beliau tentang persatuan Indonesia telah mengilhaminya sejak masa muda, pada era pergerakan nasional kaum pergerakan dari aliran non cooperation (non-co) mengekspresikan pendirian politiknya terhadap penguasa Hindia Belanda.
Dalam salah satu tulisannya ia mengemukakan, “... entah bagaimana tercapainya persatuan itu, entah bagaimana rupanya persatuan itu, akan tetapi kapal yang membawa kita ke Indonesia merdeka itu ialah kapal persatuan adanya,” (Di Bawah Bendera Revolusi hal 21).
Paradigma berfikir Bung Karno tentang persatuan dalam kebhinnekaan (unity in diversity) dikemukakan pada sidang pleno I BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945). Sebagai salah satu nara sumber yang merespons pertanyaan ketua BPUPKI – KRT dr Radjiman Wediodiningrat ; ”Apa dasar negara yang akan dibentuk itu?”
Pertanyaan ketua BPUPKI tersebut menunjukkan bahwa Pancasila sejak semula diniatkan untuk dijadikan dasar negara, bukan pilar negara seperti yang dipopulerkan belakangan ini. Itu sebabnya Bung Karno menjawab pertanyaan ketua BPUPKI tersebut dengan kalimat; ” Dasar philosofische grounslag atau suatu weltanschauung di atas mana kita mendirikan negara Indonesia.”
Jadi, aspek statis Pancasila: dasar negara. Melalui perumpamaan ‘kemerdekaan sebagai jembatan emas’ Bung Karno secara implisit mengemukakan Pancasila sebagai ideologi negara, aspek dinamis dan etis Pancasila dalam kaitannya dengan negara Indonesia yang akan didirikan itu. Jadi, sebenarnya Bung Karno telah mengemukakan tiga tugas pokok negara Indonesia yang akan didirikan itu yaitu tugas statis (existensi), tugas dinamis (pembangunan) dan tugas etis (keadilan).
Antithesa terhadap Politik Devide et Impera versi Jepang
Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan Persatuan Indonesia sebagai sila pertama Pancasila bukan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemikiran Bung Karno ini dapat lebih dipahami jika dihubungkan dengan realitas situasi perjuangan menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pada waktu itu orang-orang Jepang, dalam hal ini para pemimpin militernya menemui kesulitan bagaimana cara melaksanakan kemerdekaan di tiga wilayah terpisah itu. Di kalangan orang-orang Indonesia juga belum semuanya setuju mengenai pelaksanaannya (kesaksian, Shigethada Nishejimah hal 146). Hal ini berkaitan dengan politik devide et impera versi Jepang, yang ketika menduduki Hindia Belanda membaginya dalam 3 wilayah kekuasaan terpisah di bawah kendali militer Jepang.
Ketiga wilayah itu; Pertama, Jawa-Madura di bawah kekuasaan Angkatan Darat ke-16 dengan markas besar di Batavia /Jakarta; Kedua, Sumatera di bawah kekuasaan Angkatan Darat ke-25 dengan markas besar di Bukit tinggi; Ketiga, Daerah Timur Besar (Groote-Oost) Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, Papua dengan markas besar di Makasar di bawah kekuasaan Angkatan Laut. Daerah ini dinilai Jepang miskin kaum intelektual (SDM) tapi kaya sumber daya alam (SDA).
Pergerakan nasional di daerah ini kurang mengesankan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut – visi persatuan Indonesia – Bung Karno diminta pergi ke Makasar pada bulan Mei 1945 dan Bung Hatta ke Banjarmasin sekitar bulan Juni 1945 untuk melakukan persiapan-persiapan di wilayah yang dikuasai Angkatan Laut itu (idem: Shigethada Nishejimah). Dari fakta sejarah ini dapat diduga bahwa sedikit atau banyak tentu ada pengaruhnya bagi Bung Karno ketika ia mengusulkan sila Persatuan Indonesia sebagai sila pertama Pancasila pada pidato 1 Juni 1945.
Ketika Bung Karno menjadi Presiden pertama Indonesia dengan dinamika politik yang tinggi beliau menyadari betul bahwa Indonesia sebagai negara baru pascaperang Dunia II rawan terjadi disintegrasi nasional karena sifat kebhinnekaan masyarakatnya sebagai warisan sejarah yang belum terkonsolidasi dengan baik.
Karena itu dalam fase ini Bung Karno selalu menekankan pentingnya “nation and character building”. “one nation and one state building” yang sering dikemukakan melalui amanatnya. Salah satu ilustrasi yang sering dikemukakan melalui amanat-amanatnya adalah lidi yang kalau diikat menjadi satu akan kuat, sulit dipatahkan dari pada kalau terpisah-pisah. Bung Karno pulalah yang pertama-tama memperkenalkan barisan Bhinneka Tunggal Ika dalam acara-acara penerimaan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia. Tradisi ini agaknya sekarang dilanjutkan oleh Presiden ke-7 Jokowi dalam menerima tamu-tamu negara yang berkunjung ke Indonesia dalam nuansa yang agak berbeda.
The Great Nation Builder
Ir H Soekarno dengan kharismanya dan dengan bakatnya sebagai orator ulung, jago pidato mempergunakan bahasa Indonesia untuk menggembleng semangat bangsa Indonesia, nasionalisme yang jadi perekat bangsa. Hal tersebut menjadikannya sebagai Pembina Agung suatu bangsa, bangsa Indonesia dengan kebhinnekaannya sebagai warisan proses perjalanan historis yang berbeda-beda di wilayah yang begitu luas dan terpecah-pecah dalam pulau-pulau besar dan kecil sebanyak lebih 17.000 (tujuh belas ribu buah), 18 (delapan belas) lingkungan adat, 250 (dua ratus lima puluh) bahasa daerah.
Karena itu, tidak terlalu salah kalau ada penganalisis Barat yang menyatakan Soekarno telah menempa suatu bangsa dengan bermodalkan bahasa Indonesia, baik lisan melalui rapat-rapat umum maupun tertulis melalui tulisan-tulisannya. Tiada pemimpin politik lain di dunia yang berbuat demikian. Soekarno adalah unik dalam hal ini.
Dengan bantuan alat bahasa ia menjelma sebagai Nation builder yang berhasil. (Rosihan Anwar: Sang Pelopor, hal 24/2012). Juga Soekarno sebagai seorang pencinta seni sangat menyukai keindahan, kesempurnaan (perfectionis), biasanya dalam amanat-amanatnya memakai ungkapan bahasa Indonesia terpilih yang mampu menjadi sumber inspirasi semangat dan pangkal tubuhnya “Sense of pride” (rasa kebanggaan) dan Sense of Obligation” (rasa kewajiban) bagi tanah airnya. Ingat saja tepuk tangan riuh ketika berpidato di depan sidang pleno I BPUPKI tanggal 1 Juni 1945.
Tri Sakti Bung Karno dan Kekinian Kita
Pada era globalisasi dewasa ini dengan segala dampaknya baik positif maupun negatif keseluruhan anak bangsa perlu disadarkan lagi bahwa bahasa Indonesia, yang dikembangkan dari bahasa Melayu yang secara historis telah lama merupakan Lingua Franca, bahasa persatuan telah mantap statusnya sebagai lambang identitas nasional.
Sebagai kekuatan integratif, peranannya baru kita sadari apabila kita membuat perbandingan dengan negara-negara lain yang bahasa nasionalnya belum pada taraf kemantapan seperti bahasa Indonesia antara lain Fhilipina dan India (SartonoKartodirdjo: hal 25,26/1994). Kepada semua anak bangsa janganlah mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik di dalam lingkungan publik maupun private.
Dalam kaitan ini perlu diingatkan bahwa para dosen, seluruh jajaran guru, mahasiswa sastrawan, penyiar-penyiar dan seluruh barisan komunikator di semua bidang perlu menyadari pentingnya peran mereka sebagai pengemban bahasa standar (Sartono –Idem) Akhirukalam marilah kita camkan doktrin Trisakti Bung Karno, Sakti ke-3, ”Berkepribadian di bidang kebudayaan” sesuai ungkapan “Bahasa menunjukkan Bangsa“ karena dengan bahasa diekspresikan jiwa dan kebudayaan yang mengungkapkan kepribadian bangsa serta identitas dan jati dirinya. Semoga demikian hendaknya.